Sejarah Tanam Paksa di Indonesia, yang Memilukan

Sejarah Tanam Paksa di Indonesia - Tanam Paksa, salah satu cara Belanda mengeruk kekayaan dari jajahannya, sebetulnya sudah didahului oleh apa yang disebut Preanger Stelsel.

Inilah sistem yang mewajibkan warga Pasundan menanam kopi dengan jumlah dan harga yang sudah ditentukan oleh VOC dan kemudian dilanjutkan oleh penguasa kolonial Hindia Belanda. Sistem yang sudah dimulai pada abad ke 18 di zaman VOC ini dilakukan dengan paksaan dan kekerasan, sehingga warga Jawa Barat benar-benar tunduk pada kekuasaan kolonial.

Inilah penemuan prof. Jan Breman, guru besar emeritus Universiteit van Amsterdam yang meluncurkan buku terbarunya: Koloniaal Profijt van Onvrije Arbeid atau Keuntungan Kolonial dari Buruh yang Tertindas. Dengan buku terbarunya ini Jan Breman mendesak supaya sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia ditulis kembali, terutama dengan memperhatikan nasib penduduk setempat yang ditindas.

Bisa dikatakan, demikian Jan Breman memulai penjelasannya, Tanam Paksa yang oleh orang Belanda selalu disebut Cultuurstelsel adalah kelanjutan Preanger Stelsel yang hanya diterapkan di Pasundan. Sistem ini dimulai sekitar tahun 1720 dan beberapa unsur Preanger Stelsel ini terlihat kembali pada Cultuurstelsel yang dimulai pada tahun 1830.

Menak dan sentana
Beda antara Preanger Stelsel dengan Cultuurstelsel adalah bahwa kalangan bangsawan Sunda dikerahkan untuk memimpin budidaya kopi, dari awal abad 18 itu. Sedangkan di wilayah Jawa lainnya, para bangsawan, misalnya bupati, tidak diikutkan dalam memimpin produksi tanamannya.

Pimpinan budidaya tanamannya jatuh ke tangan pemimpin desa, kepala desa dan pimpinan desa lain yang mengendalikan para petani. Tetapi di Pasundan yang berperan adalah para menak dan sentana, bangsawan Sunda yang lebih rendah. Bersama, mereka terlibat dalam pengendalian budidaya tanaman.

"Itu perbedaan pertama, jadi bangsawan setempat dilibatkan," demikian profesor Breman. Perbedaan lain juga masih ada. Misalnya akibat pengerahan para bangsawan itu, para petani Sunda juga harus menyerahkan panen tanaman paksa, tetapi juga panen padi mereka dalam jumlah besar. Pada zaman kekuasaan Gubernur Jenderal Daendels jumlah itu meningkat sampai seperlima panen padi. Itu merupakan semacam gaji bagi para menak dan sentana Pasundan. Sedangkan di tempat lain hal semacam itu tidak terjadi.

Itu dua contoh perbedaan utama antara keduanya. Tapi perbedaannya adalah bahwa budidaya beberapa tanaman yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Kalau di daerah-daerah lain tanamannya adalah tebu atau indigo, maka di Pasundan budidayanya adalah kopi.

Perlawanan

Akhirnya, pada sekitar tahun 1870, Tanam Paksa kopi ini dihentikan akibat perlawanan para petani. "Thesis saya adalah bahwa perlawanan itulah penyebab dicabutnya Tanam Paksa," demikian Jan Breman, "dan bukan pertimbangan-pertimbangan lain yang dilakukan oleh penguasa kolonial." Para petani Pasundan yang sangat benci tanaman kopi dan menolak membudidayanya, paling sedikit dalam jumlah yang diwajibkan oleh penguasa.

Pada sekitar tahun 1850, makin jelas bahwa budidaya kopi yang dipaksakan itu tidak bisa memenuhi permintaan pasar dunia, pemasokannya di pasar internasional mengalami hambatan. Demikian Jan Breman. "Ini berarti paksaan menanam itu tidak jalan lagi. Para petani menolak untuk melakukannya." Untuk itu dicari jalan keluar lain. Itulah reformasi produksi pertanian.

Tidak beres

Karena perlawanan para petani Sunda ini, Jan Breman melihat ada sesuatu yang tidak beres dalam sejarah Belanda sejauh itu menyangkut Tanam Paksa. "Menurut saya sejarah kolonial Belanda hanya merupakan sejarah yang ditulis melalui mata penguasa kolonial." Profesor Breman ingin meninggalkan penulisan sejarah semacam ini.

Ia tidak ingin memaksakannya, tetapi yang ingin dilakukannya adalah menulis sejarah seperti yang dialami sendiri oleh rakyat Indonesia sendiri. Dengan begitu Breman yakin bisa memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh VOC dan kemudian oleh penguasa kolonial.

Jan Breman lalu berkisah tentang catatan seorang pembuat kebijakan Belanda pada awal abad 19. Pada saat itu dia sudah mengatakan, apa yang akan dilakukan oleh seorang petani Zeeland (propinsi di Belanda barat daya), kalau dia diwajibkan menghasilkan dan hanya memperoleh seperlima harga pasar bagi hasil budidayanya?

Dia pasti akan marah dan menolak melakukannya atau berupaya menolak melakukan hal yang diwajibkan terhadapnya. "Saya banyak mencurahkan perhatian pada ketidakbebasan, pada pikiran-pikiran rasis yang beredar di kalangan penguasa kolonial, dan juga pada kekerasan yang digunakan untuk memaksa para petani melakukan apa yang dimaui penguasa kolonial." Demikian Breman.

Pembangkang
Setiap kali mencari bukti bagi thesis-thesisnya itu, pada setiap periode Jan Breman menemui pendapat-pendapat para pembangkang. Para pembangkang ini ibaratnya garam pada adonan hambar. Mereka punya pendapat lain. Mereka mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak boleh diucapkan.

Pembangkang ini memperlihatkan sisi buruk sebuah peristiwa. Dan pada setiap periode, juga di dalam aparat kolonial, terdengar suara membangkang yang menyatakan, "Ini sesuatu yang terkutuk. Ini ketidakadilan, ini pemerasan, ini penindasan. Perkebunan kopi itu adalah perbudakan. Dan itu tidak boleh dilakukan.

Penguasa kolonial selalu berpendapat bahwa para petani Pasundan itu baik-baik, lemah lembut, tetapi ternyata mereka berani melakukan perlawanan. Para penulis Belanda sendiri sebenarnya juga ada yang berpendapat demikian. Mereka menentang gagasan bahwa warga Pasundan mau saja dikuasai.

Cara petani ini berhubungan dengan para menak, bangsawan setempat, menurut Breman, juga asertif. Mereka berani bertindak sendiri, tanpa menanti perintah para menak. "Mereka itu tidak mau tunduk dan patuh, seperti banyak digambarnya pada sejarah kolonial Belanda," demikian Jan Breman.

Di sini guru besar emiritus ini merasa perlu melakukan koreksi. "Tapi bukan koreksi asal koreksi atau harus mengeluarkan pendapat lain," kata Jan Breman lagi. Tetapi ia ingin menekankan bahwa kebanyakan sumber sejarah yang digunakan historisi Belanda terlalu sepihak.

Subscribe to receive free email updates: